Big Enterprise





Press

 

Artikel dari Majalah Tempo

Jakarta - Dengan nada dan gaya bak pramugari pesawat terbang, kalimat selamat datang untuk tamu undangan diucapkan pembawa acara resepsi pernikahan Swetla Wendrasti dan Medi Rahmadi, 26 Februari 2012 lalu. Kalimat pengantar ala "safety flight regulation" itu mengiringi lenggak-lenggok tiga penari perempuan yang mengantarkan Asthie, sapaan akrab Swetla, dan Medi, ke pelaminan pernikahan berkonsep airport atau lapangan udara.

 

Nuansa airport amat melekat pada dekorasi ruang resepsi Asthie dan Medi, di The Centrum, Bandung. Sejumlah perlengkapan khas lapangan udara ditampilkan, tentunya disesuaikan dengan acara. Papan informasi penerbangan yang biasanya berisi jadwal keberangkatan, misalnya, diganti daftar tanggal istimewa dalam perjalanan cinta Asthie Medi, seperti kapan mereka kenal, kencan pertama, lamaran, hingga akhirnya menikah.

 

Pelaminan keduanya pun tak biasa. Jika biasanya sofa panjang nan empuk jadi tempat duduk mempelai, tidak demikian kali ini. Alih-alih sofa, Asthie dan Medi lebih memilih kabin pesawat bikinan sebagai pelaminan mereka. Tak hanya itu, suasana penerbangan juga dihadirkan Asthie-Medi pada meja penerima tamu. "Meja itu jadi semacam "check-in counter" ke pernikahan kami," kata Asthie kepada Tempo, Kamis, 21 Maret 2013.

 

Agar lebih "menghayati" konsep lapangan udara, penerima tamu dan pembawa acara resepsi diminta Asthie mengenakan konstum pilot dan pramugari. Begitu pun kru acara yang melayani sekitar 1500 tamu yang datang, diminta memakai kostum khas petugas bandara yang berwarna orens terang.

 

Sesuai konsep, undangan dan souvenir pernikahan pun sengaja dibuat unik. Undangan pernikahan Asthie-Medi dibuat menyerupai boarding pass lengkap dengan barcode dan nomer kursi, sedangkan souvernir yang dibagikan berupa tas bertuliskan kalimat Napoleon Bonaparte, "The Only Victory Over Love is Flight".

 

Meski berkonsep airport, latar belakang pendidikan maupun profesi Asthie dan Medi tidak berada dalam lingkup angkatan udara. Sehari-harinya, Asthie berprofesi sebagai show director dan konsultan acara, sedangkan Medi adalah pemilik restoran Cuanki Dara Kembar yang berlokasi di Bandung.

 

Konsep lapangan udara melintas di benak Asthie ketika sedang mengecek bakal lokasi pernikahan, di dekat Bandara Husein Sastranegara. Asthie mengaku, semula ia justru merasa terganggu dengan suara bising pesawat yang melewati lokasi tersebut hampir 30 menit sekali. "Tiba-tiba muncul ide, kenapa enggak sekalian aja airport jadi konsep resepsi kami? Jadi kalau ada pesawat beneran lewat, malah jadi nyambung dengan konsepnya, hehehe.."

 

Ide itu ternyata disetujui Medi. Keduanya pun mulai mematangkan konsep tersebut, dibantu sejumlah kolega dan kerabat. "Keluarga, terutama orang tua, alhamdulillah mendukung sekali. Mungkin mereka tahu kami sama-sama bekerja di dunia hiburan, jadi wajar kalau punya ide kreatif dalam mewujudkan pernikahan impian," kata Asthie.

 

Gagasan membuat pernikahan berkonsep lapangan udara diklaim Asthie tidak ribet. Yang sempat membetot waktu dan tenaganya justru "liar" dan beragamnya ide yang berloncatan di kepala. Walhasil, sejumlah ide soal detail resepsi dibatalkan lantaran sulit dieksekusi. Asthie dan suami pun saat itu mesti terus berburu ide baru yang bisa diplikasikan.

 

"Kerja keras" keduanya mewujudkan pernikahan unik terbayar oleh pujian para tamu undangan. Menurut Asthie, hampir semua tamu yang hadir memberi apresiasi positif padanya dan Medi, baik secara langsung, maupun lewat situs microblogging Twitter, layanan BlackBerry Messenger, dan pesan pendek.

 

Beragam pujian itu tak disangkal Asthie membuat dirinya bangga. "Kami senang banget bisa bikin resepsi pernikahan yang berbeda dan diingat orang," ujar Asthie, yang kini akhirnya membuka jasa penyelenggaraan resepsi "yOurday" saking banyaknya kolega yang minta dibantu dibuatkan konsep pernikahan.

 

Ingin berbeda dan diingat orang juga jadi alasan pasangan Arief Darmawan, 36 tahun, dan Chrisandini, 42 tahun, menggelar pesta pernikahan unik. Pasangan yang menikah 26 Februari 2011 lalu ini memilih tema "go green" karena praktis, serta sesuai dengan pernikahan impian mereka yang privat namun hangat.

 

Ditemui Tempo pada Ahad, 17 Maret 2013 lalu, Chrisan dan Arief mengaku sejak awal memang ingin pernikahan mereka berlangsung santai. "Kami ingin saat pesta bisa intens mengobrol dengan tamu undangan. Selama ini kan mempelai hanya berdiri di pelaminan, salaman, foto, selesai," kata Arief, desainer grafis yang juga aktif dalam organisasi lingkungan Green Map Indonesia.

 

Selain karena alasan praktis, konsep "go green" dipilih Arief-Chrisan karena keduanya pertama kali berkenalan di lembaga swadaya masyarakat Pelangi Indonesia, yang bergerak di bidang peduli lingkungan, 2005 silam. Menurut Arief, sejak awal dirinya dan Chrisan memang emoh pesta pernikahan mereka "membebani" bumi. Itulah sebabnya, mulai dari undangan, souvenir, hingga meteri resepsi, dibuat sesederhana mungkin.

 

Undangan untuk tamu misalnya, tak semuanya dibuat dalam bentuk cetak. Dari seratus tamu yang diundang, hanya sebagian kecil yang dikirimi undangan berbahan kertas bekas pakai. Itu pun karena Arief dan Chrisan tak enak hati pada kolega orang tua mereka. "Lainnya sih kirim lewat email saja," ujar Arief.

 

Arief-Chrisan juga memilih menggelar resepsi siang hari, dengan alasan hemat energi. Begitu pula dekorasi dan konsep acara yang dihelat di Joglo Manten Rumah Saya, Kalibata, dibuat seramah mungkin dengan lingkungan. Sejumlah papan pemberitahuan pun ditempel di berbagai sudut lokasi resepsi, dengan tujuan "membimbing" tamu undangan untuk mengikuti konsep acara. Di antaranya papan bertuliskan himbauan untuk meletakkan piring kotor di tempat yang telah disediakan, dan tidak mengambil makanan secukupnya.

 

Adapun untuk konsumsi, Arif-Chrisan berupaya agar makanan dan minuman yang mereka sajikan tidak menambah sampah. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan galon berisi air mineral, alih-alih menyediakan minuman kemasan. Pulpen juga diletakkan di dekat jajaran gelas beling, agar tamu bisa menandai gelas berstiker tersebut dengan nama mereka. "Jadi kalau minum lagi untuk kali kedua, mereka mesti menggunakan gelas yang sama," kata Chrisan.

 

Arief mengklaim para tamu tidak protes dengan konsep pesta pernikahannya. Dari pengamatannya selama resepsi, para tamu justru terkesan dengan kesederhanaan pesta tersebut. "Situasinya juga membuat mereka tidak punya pilihan, ya. Jujur saja kami agak enggak enak, terutama pada tamu orang tua. Tapi ya udah, memang ini yang ingin kami lakukan," ujarnya.

 

Direktur penyelenggara pernikahan (wedding organizer) Big Enterprise (BE), Bigson Alandro, menjelaskan, tingkat keunikan sebuah resepsi pernikahan bergantung pada kemampuan calon mempelai mengekslorasi hobi dan minat mereka. "Karena itu kami biasanya brainstorming dulu dengan calon pengantin," katanya kepada Tempo, Selasa, 19 Maret 2013.

 

Menurut Bigson, tak semua calon pengantin datang membawa ide. Lewat brainstorming-lah BE biasanya mengetahui konsep pernikahan yang diinginkan calon mempelai, yakni lewat eksplorasi hobi, profesi, hingga karakter keduanya. Setelah proses tersebut, baru BE menawarkan sebuah konsep resepsi unik, mencakup dekorasi, warna, serta materi acara.

 

Bigson menuturkan, sejumlah pernikahan berkonsep unik pernah dihelat BE. Di antaranya resepsi pernikahan bertema film "Moulin Rouge" yang mewah dan penuh warna, film "Mamma Mia!" yang berbau pantai dan didomonasi warna biru, konsep "di bawah laut", empat musim, hingga konsep yang mengadaptasi arsitektur kota seperti New York, Paris, maupun Venezia.

 

Sebagai penyelenggara pernikahan, BE diklaim selalu berupaya mewujudkan pernikahan calon mempelai. Namun memang, kata Bigson, persiapannya tak bisa mendadak. Untuk menghadirkan konsep pernikahan unik, BE biasanya membutuhkan waktu persiapan selama 6 bulan hingga setahun.

 

 

 

 

 

 

Twitter facebook